Chapter 2 Pendakian Mt.Slamet: Kehilangan Panas Tubuh

Puncak Surono 3428 mdpl (take by myphone)

Berjalan dengan payah ingin rasanya Aku berkeluh kesah pada hujan yg terus membasahi tubuh ini atau sekedar mengeluh kepada   Angin yang menghembuskan hawa dingin disepanjang awal perjalanan basecamp bambangan sampe ke Pos 2. Perkiraanku meleset, biasanya cuaca bulan Mei curah hujan di tanah jawa (tengah/timur) mulai berkurang. Ternyata sebaliknya, Hujan terus membasahi wilayah pegunungan Slamet yang membelah 5  daerah administratif di Jawa Tengah, Purbalingga, Pemalang, Banyumas, Tegal dan Brebes.

Dalam derasnya air yang turun dari langit, ditengah perjalanan menuju Pos pendakian 3. Aku berkata pada Arif (ketua rombongan kami) biar Aku dan Rizki ‘ngerace’ duluan ke Pos 5 sambil tetap kontak di masing-masing pos perisitirahatan yang dilalui, hematku mengatakan ini untuk efisiensi waktu dan tenaga, Aku merasa perjalanan Kami berlima jika saling menunngu satu sama lain terlalu lambat untuk target pendakian 2 hari semalam, biar Aku dan Rizki yang menyiapkan makanan dan mendirikan camp ketika mereka tiba supaya kita semua bisa beristirahat dengan sempurna lanjutku.

Tips mendaki pada saat musim hujan: wajib membawa ponco, tempatkan di bagian keril yang mudah dijangkau untuk mengantisipasi cuaca gunung yang mudah berubah. jangan lupa bungkus semua bawaan dalam keril dengan satu trashbag, pisahkan masing-masing pakaian/jaket/sleeping bag dan logistik dalam plastik-plastik kecil untuk menghindari barang bawaan rembes dan menjaga tetap kering akibat tas yang basah.

Bergegas Aku dan Rizki dengan langkah yang dipercepat meninggalkan mereka berdua dibelakang, Kamil berada di tengah berfungsi sebagai ‘sweaper’ memantau jarak Kami, karena kulihat dia yang paling oke fisiknya dibanding kami berempat. Beban di depan dadaku dan belakang punggungku terasa begitu menyiksa namun tak terlalu kupedulikan, bagi Pendaki tas keril adalah nyawanya.

Hujan turun semakin deras dan tak jua kunjung reda, rencana terkadang tidak selalu mulus. memang cukup jauh jarak track dari Pos 2 ke pos 3 yang menguras stamina Kami, sampai di Pos 3 sebagian dari Kami memutuskan berhenti, beristirahat dan membuat makanan karena lapar, Aku hanya menganguk saja walau sebetulnya enggan mengamini keinginan mereka, karna pikirku beristirahat untuk makan kemudian kembali berjalan bukanlah ide yang baik ditengah badan basah kuyup, kekhawatiranku bukan apa-apa melainkan hanyalah satu, gejala hypothermia. lebih baik menahan lapar sejenak daripada harus kehilangan panas tubuh karena berhenti berjalan.

Hipotermia adalah suatu kondisi kehilangan panas tubuh, ditandai dengan kedinginan yang hebat dan tingkat kesadaran yang mulai berkurang, jika tidak ditangani dengan benar Hipotermia bisa menyebabkan kematian, umumnya Hipotermia pada pendaki disebabkan beberapa hal seperti cuaca yang dingin dalam kondisi: tubuh gagal beraklimatisasi, pakaian yang basah, kurangnya asupan gizi dan kondisi tubuh kurang fit.

Teman dari Wanadri yang juga anggota tim SAR pernah bercerita, kebanyakan Korban hilang dan meninggal di Gunung karna Hipotermia ditemukan dalam kondisi telanjang/tanpa busana,  dikarenakan ‘Paradoxial Heat Sensation’ terjadi pada tingkat Hipotermia akut yang menyebabkan korban merasakan halusinasi kepanasan yang luar biasa.

Pukul 16:30 Kami melanjutkan perjalanan, ada rasa pesimis dalam benaku ini akan diluar rencana semula target kami bermalam di Pos 7 (2990mdpl). Pasalnya pos 3 baru ketinggian 2465 mdpl dan hari mulai gelap, jarak 600 meter cukup ringan jika ditarik garis lurus datar,tidak menanjak dan membawa beban, tetapi yang Kami hadapi adalah track 600 meter yang berkelok dan terus naik (atau sekitar 1,5km) ditambah beban yang dibawa. Hujan memang sudah tidak sederas sebelumnya, diganti dengan gelapnya malam dan kabut yang turun menyelimuti jarak pandang di depan mata. setiba di pos 4 (2635 mdpl) Kami berhenti sejenak untuk menyalakan headlamp dan senter. Kami sepakat untuk tetap berjalan bersama-sama saja dalam gelap.

“Kang berhenti dulu” ucap Ilham yang semula lebih banyak diam di perjalanan, memang kulihat Dia paling kelelahan diantara Kami, kini membuka suaranya, “Kita magrib dulu” ujarnya. Aku mengiyakan saja. Lalu Ilham duduk dibatang pohon besar yang tumbang kemudian yang lainya mengikuti untuk duduk berjajar menghadap ke arah barat, Kemudian melakukan tayamum dan melaksanakan sholat magrib berjamaah. entah kupikir arah kiblat ada dimana, namun bukankah menghadap kemana saja disitulah wajah ilahi? dalam hatiku berguman Aku salut dengan anak-anak muda ini begitu patuh pada kewajibannya. dari awal Aku berkenalan dengan mereka di Stasiun Senen dan Purwokerto Aku tidak melihat sekalipun mereka lupa pada 5 waktunya. bahkan dari Kami berlima tidak ada yang merokok selain Aku. pengalaman Sholat dalam kegelapan hutan yang basah dan sunyi terasa begitu khusyu. tidak peduli dengan pakaian basah dengan kotoran tanah. “Islam itu mudah, jangan dipersulit” begitu jawaban yang Aku dengar dari salah satu mereka ketika azan subuh berkumandang kereta Kami baru melalui separuh jalannya dan terpaksa menunaikan sholat dengan posisi duduk,karna Kami tidak punya waktu sejenak saja untuk turun dulu di stasiun perhentian.

Mendaki Gunung itu menunjukan sifat/karakter asli seseorang? ada benarnya. dan mendaki dengan teman yang baru dikenal itu sebetulnya ada enak dan engganya. enaknya pertemanan yang dijalin dari perjalanan bareng  (travelmate) adalah kita tidak lagi sulit menebak karakternya. Jalinan pertemanan (walau hanya sekali / baru bertemu) biasanya akan terasa langsung akrab, tentu relasi kita akan bertambah bahkan jika dirasa cocok bisa kita ajak naik bareng kembali nantinya. dan ga enaknya aga sedikit kagok untuk membagi tugas masing-masing. Namun disinilah seni  human socialities, team work dan leadership dibangun.

Pos 4 ini dinamakan Pos SamarHantu boleh diartikan ini adalah tempat para kumpulnya demit (bahasa jawa) atau Hantu yang samar, konon disini para penghuninya kerap menganggu para Pendaki. Menurut cerita si hantu menyerupai manusia kerdil. Aku bahkan baru tau info itu ketika turun. memang perasaan ini seolah tidak nyaman seperti merasakan tidak ingin berlama-lama disini, namun Aku tidak terlalu peduli. buatku pemikiran-pemikiran seperti halnya mistis atau hal-hal lainnya hanya akan menganggu kekuatan mental kita dan akan mempengaruhi kondisi ketika mendaki. Apalagi gunung slamet termasuk gunung yang kental nuansa mistisnya di pulau Jawa.

Sudut pandang mistis atau gaib kewajiban Kita hanyalah mengakui eksistensi mereka ada, hidup bersama dengan Kita di bumi Tuhan yang luas. tidak perlu berlebihan atau takut,  selama niat dan tujuan kita dalam lingkar kebaikan.

Selepas magrib, Kami melanjutkan perjalanan, disinilah Aku merasa tubuhku mulai mengigil dan tingkat kesadaranku semakin berkurang, Aku yang berjalan di depan menentukan langkah kelompok akhirnya berjalan lebih pelan, tertatih daripada sebelumnya, Aku tidak ingin bilang kondisiku drop pada mereka. karena mereka begitu berharap Aku yang paling dewasa, bisa diandalkan dan mungkin berpengalaman, Aku yang berjalan di depan bertanggung jawab menentukan track bahkan pijakan yang akan dilalui. terkadang ketika menemui jalan bercabang, Aku menyuruh mereka berhenti, Aku berjalan duluan untuk melihat arahnya kemudian kembali lagi memberitahu jalur yang akan dipilih yang benar atau salah. tapi baru kali ini Aku merasa kedinginan menggigil yang sedimikian hebat, sepertinya kehilangan panas tubuh, mulai merasakan demam dan dirasa tak lagi sanggup berjalan. Tidak ingin memaksakan diri dan menghindari kemungkinan terburuk, Aku memilih kembali berhenti dan bilang pada mereka bahwa Aku mau mengganti semua pakaianku yang basah. kubuka tasku, kuambil semua pakaian yang masih kering walau lembab. Setidaknya ini adalah pertolongan pertama yang paling ampuh menghadapi turunnya panas tubuh. Di kegelapan yang dingin Aku paksakan membuka semua pakaian yang melekat pada tubuhku. Dinginnya Menusuk memang, Aku hanya berharap tubuh ini mampu kembali beraklimatisasi karena Aku masih harus berjalan ke ketinggian yang dimana tentunya oksigen akan semakin menipis dan suhu udara yang semakin rendah. Aku juga tidak ingin mereka cemas dengan keadaanku yang mulai drop, demam dan sesekali bersin, tubuh seperti menolak untuk bergerak namun tekadku memaksakan ingin tetap berjalan, tidak satupun Pendaki lain yang Kami temui semenjak gelap menyapa karena hari ini adalah Senin bukan Weekend yang umumnya waktu ramainya Pendakian.

Mendaki bukan pada hari libur bisa menjadi pilihan yang baik, karena bisa lebih leluasa memilih tempat istirahat (camp) sesuka hati dan mengabadikan view/puncak tanpa objek menganggu

Sepanjang perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 tidak ada sedikitpun kalimat yang keluar dari mulut masing-masing dari Kami, yang berkecamuk dalam pikiranku adalah apapun yang terjadi teruslah berjalan sampai tiba nanti mendirikan camp, istirahat tidur sejenak kemudian summit. hanya ada satu kalimat yang terus ku ulang2 dalam perjalanan penuh gelisah dan rasa cemas itu: “La hawla wala quwwata illa billah”

Tidak ada pendaki kecuali mereka yang memaknai bahwa setiap hela hembus nafas adalah dzikir, dalam menapaki jalan terjal dan curamnya takdir. (unknown)

Baru kali ini Aku mendaki dengan kondisi yang paling kepayahan dan kesadaran yang semakin berkurang. lapar, lelah atau haus masih bisa kutahan, tapi kedinginan dan demam ini begitu menyiksa. Aku bahkan pernah tanpa air dan makanan menuju puncak Semeru. atau berjalan dihutan Sempu yang berlumpur setinggi pinggang orang dewasa tanpa alas kaki dan bermodalkan permen relaxa, tapi demam kali ini membuatku tersadar bahwa memaksakan kehendak bukanlah alasan yang logis menghadapi resiko terburuk. pilihannya hanya terus berjalan di track yang licin menanjak, menembus lebatnya belantara rimba hutan hujan tropis dengan penuh asa dan kecemasan yang selalu menghantuiku. Setelah hampir kurang lebih 2 jam berjalan akhirnya Kami bertemu dengan tanjakan yang cukup curam dengan lorong sempit diameternya kurang dari 1 meter saja. Ku kumpulkan tenaga yang tersisa untuk berjalan dengan posisi kaki melebar horizontal, memilih dahan yang kokoh untuk mengenggam, sambil tetap awas pada jalan licin dan tumbuhan berduri disamping kiri dan kanan. Ku tengadahkan sisa pandanganku ke depan, Aku seperti melihat titik cahaya diatas. “Ayo bentar lagi kita di Pos 5!” teriaku, berusaha untuk menyemangati teman-teman lain yang ada di belakang. Ya beberapa saat lagi Kami akan tiba di pos 5! Kulihat ada beberapa tenda berdiri dan beberapa pendaki yang melepas lelah. Hanya ada 4 tenda saja yang bermalam. Lalu aku berkata pada Arif: “Kita ngecamp disini saja” tidak banyak bertanya, masing2 dari Kami bersiap mendirikan tenda, Aku mengeluarkan kompor untuk sekedar menyalakan api menghangatkan badan sambil memasak air panas. Aku berusaha menghindari tubuhku dari skenario terburuk, gejala hypothermia. yang sudah menjadi rahasia umum sebagai penyebab utama kematian para pendaki.

Malam gelap berbalut dingin yang semakin menusuk tulang. Aku terdiam di dalam tenda, berselimutkan sleeping bag. tenda kapasitas 4 diisi berlima ditambah tas-tas keril Kami yang basah memang terasa sesak dan kurang nyaman, namun menjadi cukup hangat. Setelah makan malam mereka berdiskusi prihal rencana summit attack yang akan dimulai pukul 2 dini hari, Aku hanya diam tidak berkomentar apa-apa, Aku tidak peduli dengan puncak. yang ada di benaku saat itu adalah bagaimana nanti berjalan turun dengan kondisi badan yang drop seperti ini? karna Kami harus dibawah pukul 4 sore mengejar kereta pulang dari stasiun Purwokerto.

“Rif punya obat demam?” Aku berucap pada Arif sahabat dari masa kecilku dulu, “Ga ada bang, adanya P3K dan obat2an luar.” Lalu Aku berguman: “Rif silakan nanti summit saja berempat, Aku tinggal di camp saja.” dia menjawab: “yah masa ga muncak? ini Bang minum aja ada antimo biar tidur lelap dan badan fit kembali” Aku hanya menganguk lemah, Aku tidak ingin keras kepala memaksakan egoku yang malah nantinya akan menyusahkan mereka. Pos pendakian 5 berada diketinggian 2775 mdpl artinya kami masih harus berjalan sekitar 2,1 Km untuk menuju Puncak Surono (3428 mdpl).

Rasa kantuk karna kelelahan atau mungkin juga bisa jadi efek obat antimo dan tolak angin mulai kurasakan, bersiap-siap tidur dengan posisi kaki yang tidak bisa lurus (karna sesaknya penghuni tenda). Kutarik sleeping bagku, sebelum terlelap batinku kembali berucap:  “Tiada daya dan upaya melainkan atas pertolongan dan izin Allah

Pukul 01:00 dini hari. Aku terbangun mendengar suara aktifitas diluar tenda, mereka berempat bersiap untuk ‘summit attack’. melihat Aku sudah terjaga, Kamil memberikan segelas susu hangat dan roti cokelat. mereka mulai paham kondisiku masih drop. Arif muncul di depan pintu tenda kemudian berkata padaku : “ayo Bang siap2 kita summit” Aku terdiam memang kurasakan tubuh ini sudah mulai membaik, tapi Aku masih khawatir tubuhku kembali drop. yang akan dihadapi kali ini adalah track yang terus naik curam dengan dingin yang lebih menusuk dan oksigen yang semakin menipis. Kubilang pada Arif “tunggu sebentar, biarkan Aku keluar dulu” sejenak Aku keluar dari tenda, mereka tampak sumingrah melihatku. sambil menahan dingin kuseruput susu cokelat hangat dan mengunyah roti cokelat, membiarkan tubuh ini bereaksi dan menyesuaikan dengan dinginnya malam.

Yakinlah sang maha Pencipta menciptakan Manusia dengan bentuk yang paling sempurna. Tidak ada rasa takut bukan berati sombong dan ceroboh, menggantungkan diri pada yang Maha berkehendak adalah sebaik-baiknya cara menghadapi kecemasan hidup.

Aku rasakan tubuhku mulai beraklimatisasi dengan suhu ruang tidak menggigil kedinginan seperti sebelumnya. ini artinya kondisi kondusif, semua Pendaki pasti sepakat bahwa ketinggian dan suhu tubuh tidak boleh disepelekan. Karna bahaya hypotermia dan mountain sickness. Summit attack atau tracking menuju puncak (umumnya) dilakukan pada dini hari untuk mengejar sunrise, karena cuaca paling baik di puncak adalah pagi hari menghindari badai dan semburan kawah Aktif, untuk melawan suhu gunung yang paling menyiksa (dini hari-subuh) rumusnya adalah terus berjalan. kalori akan terbakar menghasilkan panas tubuh, untuk menghasilkan kalori maka konsumsi selama perjalanan adalah makanan yg mengandung karbohidrat dan glukosa. ditambah persediaan air untuk menghindari dehidrasi akibat keringat yang dikeluarkan. dan yang paling penting adalah berdoa pada pencipta yang maha berkehendak. Kita tidak pernah tau apa yang ada didepan, bahkan Badai bisa saja terjadi pada pagi hari seperti tragedi tewasnya 5 pendaki UGM di puncak Slamet karena datangnya badai. Akhirnya kuputuskan Aku ikut summit attack. segera disiapkan tiga ransel untuk membawa logistik dan makanan, sisanya ditinggalkan di camp. lalu Kami briefing, intinya jangan sampai ada yang terpisah, Aku tetap berjalan di depan sebagai frontline, Arif sebagai sweaper.

Tepat pukul 2 dini hari Kami berlima memulai summit attack, berjalan beriringan ditemani lampu senter, Cahaya hadlampku masih lumayan terang, tidak perlu diganti baterai cadangan. Tas daypack ukuran 20L dipunggungku kali ini terasa nyaman dibanding sebelumnya karena hanya diisi makanan ringan, air dan kompor. Cuaca sepertiga malam juga cukup bersahabat, tidak seperti seharian kemarin diguyur hujan lebat. Udara dinginpun tidak terlalu menusuk kulit karna windbreaker, polar, sarung tangan dan buff dengan sempurna menahan angin masuk ke tubuhku. Mengalun musik dari loudspeaker blackberry   Yang kusimpan tepat di kantung  samping jaketku. Kuputar lagu-lagu dari sahabat ku jaman ngeband dulu (Payung Teduh) untuk menemani perjalanan menembus sunyinya malam menuju puncak.

“Aku ingin berdua denganmu dalam Hujan dan malam gelap”
(Patung teduh – Resah)

Perjalanan menuju pos 6, pos 7 dan seterusnya vegetasi mulai  terlihat berkurang. tandanya puncak semakin dekat, hanya ada beberapa tumbuh-tumbuhan seperti edelweis dan pohon cherry. Track masih basah namun cukup aman. sesekali Kami berlima berhenti sekedar menarik nafas dan minum air. ya, berjalan pada malam/dini hari itu artinya Kami harus siap berebut oksigen dengan tumbuhan.

Setelah 2 jam berjalan. Pukul 4 subuh sampailah Kami di Plawangan (pos 9) ketinggian sekitar 3250mdpl. Plawangan artinya Gerbang, maksudnya gerbang menuju puncak Slamet. Pos 9 adalah batas vegetasi, hampir tidak ada lagi tumbuhan yang hidup. track berganti dengan batu-batu bercampur pasir. Pada siang hari akan terlihat hamparan luas mengkrucut keatas seperti kurva atau ujung pensil. Karna hari masih gelap yang ada di depan Kami tetaplah jalan setapak. perbedaanya hanya track tanah yang berganti dengan batu dan pasir. kali ini bukan kecemasan, yang ada dalam bayangku adalah puncak yang paling indah diatas awan nusantara. Di atas sana sesekali terlihat kilauan lampu senter dari para pendaki lain yang telah lebih dulu berjalan.

Kami siap menuju Puncak gunung tertinggi kedua sekaligus gunung soliter terbesar di Tanah Jawa!!

Bersambung…

Tulisan ini ditulis apa adanya sesuai dengan kejadian yang dialami penulis masih terus diperbarui dengan validasi dan koreksi dari rekan seperjalanan sampai kerangka artikel menjadi satu kesatuan blog yang layak publish.

Leave a comment